Proklamator bukan hanya sekedar Soekarno-Hatta!
Proklamator bukan hanya
Soekarno-Hatta!
Seperti halnya kita ketahui bahwa
perjuangan para pahlawan pada masa penjajahan sangatlah besar. Bahkan mereka
telah rela mengorbankan nyawanya demi memperoleh kemerdekaan Indonesia. Tentunya
kita tahu dibalik kemerdekaan yang
diraih Indonesia ada tokoh-tokoh atau Pahlawan
yang memiliki peran besar terhadap kebebasan yang diperoleh Indonesia. Nama
tokoh-tokoh yang pertama kali terlintas dalam benak kita mungkin adalah
Ir.Soekarno dan Drs.Moh.Hatta. Mengapa mereka? Karena mereka adalah putra-putra
terbaik bangsa yang telah mendarmabaktikan hidupnya untuk mewujudkan Indonesia
merdeka. Selain karena perjuangan mereka yang gigih, terutama dalam menciptakan
gagasan yang pada akhirnya menjadi landasan terbentuknya Undang-undang Dasar 1945, namun mereka juga berperan dalam
proklamasi kemerdekaan Indonesia. Tetapi perlu anda ketahui sobat, bahwa tidak
hanya mereka saja yang menjadi tokoh proklamasi Indonesia. Karena selain mereka
masih banyak lagi yang menjadi tokoh proklmasi Indonesia.
Beberapa tokoh yang tidak sepopuler
Bung Karno dan Bung Hatta tetapi memiliki pengaruh besar terhadap persiapan
kemerdekaan Indonesia diantaranya adalah
Ahmad Soebardjo dan ibu Fatmawati. Kiranya informasi Ini dapat menambah wawasan
sobat yang membacanya dan membantu kita dalam mengingat peran mereka, bahkan
belajar dari nilai-nilai perjuangan yang mereka miliki.
1.
Mr. Raden
Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo
A. Profil dan
deskripsi mengenai tokoh
Lahir
|
Meninggal
|
Kebangsaan
|
Profesi
|
Agama
|
Alma mater
|
Karawang, Jawa Barat, 23 Maret
1896
|
Jakarta, 15 Desember 1978
|
Indonesia
|
Diplomat
|
Islam
|
Universitas Leiden, Belanda
|
Achmad
Soebardjo lahir dari pasangan Teuku Muhammad Yusuf-Wardinah. Ayahnya masih
keturunan bangsawan Aceh dari Pidie. Kakek Achmad Soebardjo dari pihak ayah
adalah Ulee Balang dan ulama di wilayah Lueng Putu, sedangkan Teuku Yusuf
adalah pegawai pemerintahan dengan jabatan Mantri Polisi di wilayah Teluk
Jambe, Kerawang. Sedangkan Ibu Achmad Soebardjo adalah keturunan Jawa-Bugis, dan
merupakan anak dari Camat di daerah Telukagung, Cirebon, Jawa Barat.
Teuku Abdul Manaf adalah nama yang di berikan ayahnya pada saat awal, sedangkan ibunya memberinya nama Achmad Soebardjo. Nama Djojoadisoerjo ditambahkannya sendiri setelah dewasa, saat ia ditahan di penjara Ponorogo karena "Peristiwa 3 Juli 1946". Beliau bersekolah di Hogere Burger School, Jakarta, Indonesia. (saat ini setara dengan Sekolah Menengah Atas) pada tahun 1917. Kemudian Beliau melanjutkan pendidikannya di Universitas Leiden, Belanda dan memperoleh ijazah Meester in de Rechten (saat ini setara dengan Sarjana Hukum) di bidang undang-undang pada tahun 1933.
Semasa
masih menjadi mahasiswa, Soebardjo aktif dalam memperjuangkan kemerdekaan
Indonesia melalui beberapa organisasi seperti Jong Java dan Persatuan Mahasiswa
Indonesia di Belanda. Pada bulan Februari 1927, ia pun menjadi wakil Indonesia
bersama dengan Mohammad Hatta dan
para ahli gerakan-gerakan Indonesia pada persidangan antarbangsa "Liga
Menentang Imperialisme dan Penindasan Penjajah" yang pertama di Brussels
dan kemudian di Jerman. Pada persidangan pertama itu dihadiri Jawaharlal Nehru,
yang merupakan perdana menteri India pada saat itu dan pemimpin-pemimpin
nasionalis yang terkenal dari Asia dan Afrika. Sewaktu kembalinya ke Indonesia,
ia aktif menjadi anggota BPUPKI, dan kemudian PPKI.
Perannya
dalam membangun Indonesia merdeka tidak sampai disitu. Konsep naskah proklamasi
disusun oleh Bung Karno, Bung Hatta, dan Achmad Soebardjo di rumah Laksamana Muda Maeda.
Setelah selesai dan berargumentasi dengan para pemuda, dini hari 17 Agustus
1945, Bung Karno pun segera memerintahkan Sayuti Melik
untuk mengetik naskah proklamasi.
Pada tanggal 18 Agustus 1945, Soebardjo
dilantik sebagai Menteri Luar Negeri pada Kabinet Presidensial, kabinet
Indonesia yang pertama, dan kembali menjabat menjadi Menteri Luar Negeri sekali
lagi pada tahun 1951 - 1952. Selain itu, ia juga menjadi Duta Besar Republik
Indonesia di Switzerland antara tahun-tahun 1957 - 1961. Dalam bidang
pendidikan, Soebardjo merupakan profesor dalam bidang Sejarah Perkembagaan dan
Diplomasi Republik Indonesia di Fakultas Kesusasteraan, Universitas Indonesia.
Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo meninggal
dunia pada 15 Desember 1978 dalam usia 82 tahun di Rumah Sakit Pertamina,
Kebayoran Baru, akibat flu yang menimbulkan komplikasi pada dirinya. Beliau
dimakamkan di Cipayung, Bogor. Pemerintah mengangkat almarhum sebagai Pahlawan
Nasional pada tahun 2009 melalui Keppres No. 58/TK/2009.
B. Peran tokoh
dalam kemerdekaan Indonesia
Peran yang spesifik adalah:
1. Ketika
beliau ikut menjadi Panitia Sembilan untuk merumuskan Piagam Jakarta yang menjadi
cikal bakal terbentuknya pembukaan UUD 1945.
2. Beliau
juga menjadi penengah antara golongan muda dan golongan tua ketika terjadi perbedaan pendapat. Perbedaan pendapat itu muncul ketika mereka akan menentukan
waktu pembacaan Proklamasi.
3. Bersama
Ir Soekarno dan Drs Moh Hatta, beliau juga menyusun teks proklamasi kemerdekaan di rumah LaksamanaMaeda.
4. Mengisi pemerintahan sebagai posisi menteri pada kabinet Ir. Soekarno
C. Nilai perjuangan
Semasa
kuliah Ahmad soebardjo sudah menunjukkan jiwa nasionalisme. Hal tersebut
terlihat dari partisipasinya dalam beberapa organisasi, seperti Jong java, PI dan PNI menjadikanya sebagai tokoh yang sangat
pantas diteladani. Ia berperan pula dalam mengakhiri peristiwa Rengasdengklok.
Sebab dengan jaminan nyawanya, akhirnya Ir. Soekarno dan Moh. Hatta juga
rombongan diperbolehkan kembali ke Jakarta dan melaksanakan perumusan teks
proklamasi. Terdapat beberapa nilai yang perlu diteladani dari sosok Ahmad
Soebarjo, sebagai berikut:
1. Tanggung jawab
2. Adil dan Bijaksana
3. Semangat
Patriotisme/Nasionalisme yang tinggi
4, Rela menolong tanpa pamrih
5. Orang yang sederhana dan
tidak sombong
6. Cinta terhadap Tanah Air
Indonesia
7. Aktif dalam berbagai bidang
2. Fatmawati
Soekarno
A. Profil dan
deskripsi mengenai tokoh
Lahir
|
Meninggal
|
Kebangsaan
|
Suami
|
Agama
|
Pendidikan
|
5 Februari
1923,Kota Bengkulu, Indonesia
|
14
Mei 1980, Kuala Lumpur, Malaysia
|
Indonesia
|
Ir.Soekarno (1901-1970)
|
Islam
|
HIS di Surabaya, HBS, THS di
Bandung
|
Sebagai putri
tunggal keluarga H. Hassan Din dan Siti Chadidjah. Masa kecil Fatmawati penuh
tantangan dan kesulitan, akibat sistem kolonialisme yang dijalankan oleh
Pemerintah Hindia Belanda. Ayahandanya, Hassan Din semula adalah pegawai
perusahaan Belanda, Bersomij di Bengkulu. Tetapi karena tidak mau meninggalkan
kegiatannya sebagai anggota Muhammadiyah, ia kemudian keluar dari perusahaan
itu. Setelah itu, Hassan Din sering berganti usaha dan berpindah ke sejumlah
kota di kawasan Sumatera Bagian Selatan.
Pada tahun 1943 Bung Karno menikahi Fatmawati, dan oleh karena Fatmawati masih
berada di Bengkulu, sementara Bung Karno sibuk dengan kegiatannya di Jakarta
sebagai pemimpin Pusat Tenaga Rakyat (Putera). Fatmawati, usianya baru 19 tahun
ketika disunting Bung Karno yang waktu itu 41 tahun. Pernikahan itu dilakukan
dengan wakil salah seorang kerabat Bung Karno, Opseter Sardjono. Pada 1 Juni
1943, Fatmawati dengan diantar orang tuanya berangkat ke Jakarta melalaui jalan
darat. Sejak saat itu Fatmawati mendampingi Bung Karno dalam perjuangan
mencapai kemerdekaan Indonesia.
Wanita hebat
pendamping Bung Karno ini adalah ibu dari presiden Ke -5 Indonesia. Perjalanan sepasang merpati penuh
cinta ini, akhirnya dikaruniai lima orang putra-putri: Guntur, Mega, Rachma,
Sukma, dan Guruh. Belum lama mereka mengarungi bahtera rumah tangga, Sukarno
tak kuasa menahan gejolak cintanya kepada wanita lain bernama Hartini. Inilah
salah satu pangkal sebab terjadinya perpisahan yang dramatis antara Sukarno dan Fatmawati.
B. Peran tokoh
dalam kemerdekaan Indonesia
Peran Fatmawati dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia terbagi menjadi
dua, yaitu sebelum merdeka dan masa mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
1. Sebelum Fatmawati menikah dengan Soekarno, Fatmawati
ikut ibunya tergabung dalam organisasi Muhammadiyah.
2. Sedangkan setelah Beliau menikah dengan Soekarno,
Beliau menjadi tombak di garis belakang, membantu para gerilyawan dalam
memenuhi kebutuhan pangan dan pakaian saat berada di lapangan.
3. Beliau
juga sebagai ibu negara, selalu
mendampingi Ir.Soekarno sebagi pemimpin negara Republik Indonesia saat itu.
4. Serta ibu fatmawati juga yang telah menjahit
bendera pusaka merah putih pada saat menjelang dibacakannya teks proklamasi
yang bertempatkan di rumah Ir.Soekarno pada saat itu.
C. Nilai
perjuangan
Bersekolah
sambil berjualan untuk membantu meringankan beban orang tuanya, menunggu warung
merupakan bukti diri akan semangat
kemandirian serta rasa percaya diri yang matang, dan untuk ukuran usia yang
baru menginjak tujuh tahun itu sangat mengagumkan. Antara masa sekolah dan masa
perjuangan seringkali begitu akrab bergumul dalam entitas waktu. Oleh
karenanya, tidaklah menyurutkan semangat bagi seorang Fatmawati ketika harus
berpindah-pindah dari tempat yang satu ke tempat yang lain, dari rumah yang
satu ke rumah yang lain, dari satu sekolah ke sekolah yang lain, mengikuti
gerak langkah perjuangan ayahnya selaku pucuk pimpinan perserikatan
Muhammadiyah di Bengkulu. Sebaliknya, pengalaman-pengalaman tersebut justru
semakin menempa mentalitas kejuangannya.
Di
tengah gejolaknya api revolusi, menjelang kemerdekaan (15 Agustus 1945),
sekelompok pemuda pejuang bangsa yang tergabung dalam barisan PETA, telah
memaksa Bung Karno dan Bung Hatta untuk segera meninggalkan kota Jakarta menuju
ke Rengasdengklok. Dan dalam situasi yang kritis itu, Ibu Fatmawati dengan
semangat reflektif, sambil menggendong anak pertamanya Moh.Guntur yang masih
bayi, segera mengayunkan langkah juangnya mengikuti kedua tokoh pejuang bangsa
bersama beberapa anggota PETA menuju Rengasdengklok.
Refleksi penulis mengenai penjabaran diatas
Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa-jasa
para pahlawannya, seperti kata Bung Karno “Negara yang besar adalah yang tidak
melupakan Jas Merah” Artinya tidak akan melupakan sejarah suatu bangsa
tersebut. Para pahlawan rela mengorbankan hidupnya demi menjaga dan
mempertahankan negara Indonesia. Tanpa jasa mereka, kita tidak bisa menjadi
bangsa dan negara Indonesia seperti sekarang. Sebagai pemuda yang menentukan
masa depan negara (Generasi Bangsa) kita harus mampu mengenang dan menghargai
perjuangan, pengorbanan para pahlawan dan pemimpin bangsa yang menjadi simbol
negara Indonesia. Dengan melakukan kegiatan positif seperti belajar secara
serius dalam keseharian sebagai pemuda sudah menunjukkan bahwa kita sebagai
pemuda menghargai para pahlawan. Itulah sebabnya, sejarah bangsa ini telah
mendokumentasikan bahwa kemerdekaan Indonesia bukanlah merupakan hadiah dari
bangsa lain, melainkan diperoleh dari perjuangan serta pengorbanan pejuang
Indonesia.
Semua terbukti dengan adanya
peringatan hari pahlawan yang diperingati setiap tanggal 10 November. Hal
tersebut akan selalu mengingatkan warga Indonesia terutama generasi muda
Indonesia untuk selalu mengingat jasa para pahlawan. Dengan menciptakan rasa
damai, persatuan dan kesatuan ditengah perbedaan yang dimiliki Indonesia
merupakan tugas generasi muda Indonesia. Karena seperti halnya kita ketahui
banyak pemuda Indonesia yang tidak menunjukkan jiwa perjuangannya di era
sekarang ini melalui pendidikan maupun pekerjaan yang ditekuninya. Ingatlah
selalu bahwa “memperoleh kemerdekaan tidak semudah mempertahankan kemerdekaan
yang telah diperoleh dan diterima hingga sekarang”.
Sumber
http://www.infobiografi.com/biografi-dan-profil-lengkap-fatmawati-penjahit-bendera-pusaka-indonesia/